Budaya umumnya dipahami sebagai aktivitas masyarakat dengan berbagai warisan budaya baik benda (tangible cultural heritage) maupun tak-benda (intangible cultural heritage) yang sudah menjadi kebiasaan yang mereka lakukan secara turun-temurun. Dengan konteks pemahaman tersebut, budaya dengan berbagai tradisi yang dimiliki oleh masyarakat tersebut dipandang sebagai norma sosial yang berperan dalam mengatur kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat harus mematuhi aturan norma sosial tersebut karena secara adat norma sosial memiliki kekuatan hukum. Paradigma memahami budaya dengan cara yang demikian itu memposisikan budaya sebagai suatu yang bersifat tradisi – yang hanya menjadi penciri indentitas suatu suku bangsa, etnis atau kelompok tertentu. Namun, di era globalisasi sekarang ini, paradigma memandang budaya sudah berkembang – budaya dengan berbagai tradisi yang dimiliki olek masyarakat tidak lagi dipandang hanya sekedar norma sosial adat dengan produk budaya yang hanya untuk komsumsi masyarakatnya sendiri.
Seiring dengan perkembangan era moderen globalisasi, budaya dengan tradisi sudah memiliki nilai tambah (value added) secara ekonomi – ia berubah menjadi produk komoditas yang bernilai ekonomi. Sebagai komoditas, budaya tardisi dapat dijual sehingga menghasilkan pendapatan (income) bagi masyarakat pemiliknya. Budaya yang memiliki nilai jual tinggi sekarang ini adalah budaya-budaya yang dipandang sebagai budaya yang masih orisinil yang berlum terjamah oleh tangan-tangan modernisasi. Komsumen dari budaya asli (indigenous) itu sebagian besarnya adalah wisatawan manca negara (wisatawan asing). Wisatawan asing sebagai konsumen budaya indigenous melakukan kunjungan (visitor engagement) dan kontak budaya (cultural contact) dengan budaya indigenous di destinasi-destinasi pariwisata budaya. Destinasi pariwisata B 2| Pengantar budaya adalah pasar tempat bertemunya wsiatawan asing itu dengan budaya indigenous.
Dengan kunjungan dan kontak budaya tersebut, wisatawan asing memiliki pengalaman yang berkesan (memorable tourism experience), yang pada gilirannya pengalaman tersebut mendorong mereka untuk kembali mengunjungi (revisit intention) dan mengajak keluarganya atau orang lain untuk mengunjungi destinasi wisata budaya (intention to recommend). Efeknya adalah destinasi wisata budaya indigenous berkembang baik. Masyarakat suku indigenous secara aktif ikut terlibat dalam perkembangan, menikmati hasil dari perkembangan dan sekaligus berperan dalam mengembangkan budaya indigenous sebagai komoditi untuk pasar wisata budaya. Perkembangan itu dalam era global ini juga dibarengi oleh pengembangan bahasa Inggris untuk pariwisata. Paridigma perkembangan budaya dengan berbagai tradisi indigenous itu dikaji oleh sejumlah peneliti pariwisata budaya (cultural tourism) di antaranya seperti Chandral (2013), Chen (2017), Kim (2010), Richards (2018), Towner (2016), AlBakrawi (2013), Al-Tarawneh (2019), Brutt-Griffter (2002), AlDohon (2014), Alkhatib (2005), Cohen (2018), Galantuci (2018), Geithman (2019), Elfiondri (2018, 2019, dan 2020).
Salah satu dari sekian banyak budaya indigenous di dunia yang cukup menarik minat wisatawan asing adalah budaya indigenous Mentawai. Penelitipeneliti seperti Ponting (2013), Towner (2016), Pristiwasa (2017), Towner & Orams (2016), Napitulu (2015), Kusbiantoro (2016), Ramadhan (2017), dan Elfiondri (2018, 2019, 2020) telah mengkaji budaya indigenous Mentawai dalam kaitannya dengan pariwisata. Kajian untuk pengembangan pariwisata budaya Mentawai hanya sebagian kecil, kajian budaya dalam kontek ini agak terabaikan. Para peneliti seperti Napitupulu (2011), Pristiwasa (2017), Ramadhan (2017), Towner (2016), dan Ponting (2013) melakukan dua bentuk kajian, yaitu kajian budaya untuk pariwisata dan kajian wisata selancar (surfing tourism), namun mereka tidak melakukan kajian kontak budaya, pengalaman wisatawan, dan penggunaan serta pengembanagan bahasa Inggris khusus untuk pariwisata budaya indigenous Mentawai. Elfiondri (2018, 2019 & 2020) membahas kajian-kajian yang belum dibahas oleh peneliti-peneliti tersebut. Pengantar | 3 Buku referensi hasil penelitian memaparkan bahasan-bahasan budaya dan bahasa Inggris untuk pariwisata studu kasus Siberut Mentawai berdasarkan hasil penelitian (2018, 2019 & 2020) dengan dukungan data dan teori mutakhir. Semoga bahasan tersebut dapat menjadi referensi bagi kajian budaya indigenous dan bahasa Inggris untuk pariwisata.
Oleh : Dr. Elfiondri S.S., M.Hum.